Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai wacana perpanjangan periode jabatan kepala desa patut ditolak DPR dan pemerintah. Selain bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa.
"Sebaliknya, akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (27/1).
Menurut Kurnia, saat ini terdapat banyak persoalan akut di desa yang perlu dibenahi, namun bukan dengan perpanjangan jabatan. Mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari minimnya partisipasi warga, hingga korupsi. Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal.
Oleh karena itu, kata dia, DPR dan pemerintah seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk di dalamnya mereduksi potensi korupsi.
"Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa," tutur Kurnia.
Data ICW terkait tren penindakan korupsi setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa. Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021.
Menurut ICW, sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar.
Kurnia mengatakan, korupsi yang makin meningkat di desa berjalan beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa. Sejak 2015-2021, Rp400,1 triliun dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrim.
"Korupsi yang terjadi di desa akan berdampak pada kerugian yang dialami langsung oleh masyarakat desa. Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa," katanya.
Kurnia menyebut, pihaknya menilai usulan tersebut jika diakomodir justru akan menyebabkan tiga masalah mendasar.
Pertama, perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan bahkan dapat menyuburkan oligarki di desa. Belum lagi ditambah fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa. Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar.
"Salah satu masalah mendasar di desa hari ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan pembangunan. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktik korupsi di sana," ujar Kurnia.
Kedua, perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif. Salah satunya dengan memberikan batasan jelas terhadap periode maupun lama jabatan.
"Upaya untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa jelas bertentangan dengan semangat konstitusional tersebut," ujarnya.
Pasal 39 UU Desa mengatur bahwa satu periode masa jabatan kepala desa yaitu selama enam tahun. Kepala desa juga dapat menjabat paling banyak tiga periode, baik secara berturut-turut ataupun tidak. Konstruksi pembatasan masa jabatan demikian telah diteguhkan konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 42/PUU-XIX/2021.
Dibanding masa jabatan pejabat lain yang lahir dari mandat masyarakat, seperti kepala daerah, presiden, dan anggota legislatif, masa jabatan kepala desa ini jauh lebih panjang. Sayangnya, ide perpanjangan itu tidak didukung dengan argumentasi yang jelas dan cenderung bermuatan politis.
Ketiga, respon positif atas usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membawa preseden buruk dan patut dicurigai sebagai pintu masuk perpanjangan masa jabatan presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif. Jika usulan tersebut diakomodasi, bukan tidak mungkin selanjutnya masa jabatan elected officials lain bisa diwacanakan untuk diperpanjang.
"Terlebih, narasi perpanjangan masa jabatan ini bukan kali pertama. Pada 2022 silam, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPP APDESI) yang dipimpin Surta Wijaya mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo menjabat selama tiga periode," tandasnya.